Teringat kata pepatah, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Begitu juga halnya dengan perjalanan mengajar seorang guru dalam mendidik anak didiknya di tiap daerah yang berbeda kultur bahasa, budaya dan agama. Kehidupan penduduk di Pulau Jawa berbeda dengan penduduk yang ada di luar Jawa, karena salah satu penyebab perbedaan karakteristik manusia dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungannya.
Semua ini aku rasakan dan alami selama di Pulau Bangka tepatnya di Kota Pangkalpinang. Pertama kali mengajar selalu dilecehkan anak didik karena mereka menganggap guru yang berasal dari Pulau Jawa berkarakter lemah lembut sehingga dengan mudahnya mereka bisa mempermainkan kita. Sering kali mereka menjadikan ras sebagai bahan ejekan dengan bahasa Bangka mereka yang mereka pikir kita tidak akan tau artinya.
Kebetulan aku mengajar di sekolah teknologi yang 90% siswa nya laki-laki dan berasal dari kampung yang notabene perilakunya lebih parah dibandingkan siswa dari kota (meskipun tidak semuanya begitu).
Ada suatu kebiasaan yang sulit dihilangkan dari mereka di kala mereka di lingkungan sekolah dan ini sudah menjadi tradisi mereka. Duduk dengan mengangkat satu kaki atau lebih parah lagi dengan dua kaki yang selalu mereka angkat jika mereka duduk di kursi. Pertama kali melihatnya hati ku dibuat nyut-nyut tidak karuan, bagaimana tidak? Duduk dengan mengangkat satu kaki saja sudah dianggap melanggar etika jika di Jawa, bagaimana dengan dua kaki yang diangkat, apa itu tidak lebih kurang ajar artinya? Aku pening (bahasa Bangka, yang artinya pusing) dibuatnya. Saat aku bersikap lembut mengingatkan pada mereka bahwasannya itu tidak sopan, ternyata mereka tidak merespon dan mereka justru berbalik menertawakanku. Aku jadi geram dibuatnya. Kelas tiga sebanyak sebelas kelas dengan program keahlian yang berbeda-beda(Mesin Pembentukan, Mesin Perkakas, Otomotif, Elektro, Listrik, Elektronika, Audio Video, Gambar Bangunan dan Konstruksi Bangunan) aku ajar semua dan setiap minggu pasti bertatap muka dengan mereka.
Bisa anda bayangkan bagaimana kesalnya jika ditiap kelas kita mengajar pasti ada yang bersikap seperti itu. Terkadang mereka suka menirukan gaya kita sewaktu kita mengajar dan dengan terang-terangan mereka praktekkan di kelas hingga membuat teman-teman sekelas tertawa terbahak-bahak melihatnya. Sungguh tidak punya aturan dan sopan santun.
Apa yang bisa kamu lakukan untuk negerimu jika sikap dan logikamu tidak berjalan dan masih seperti itu? Jika seperti ini, apa yang akan anda lakukan jika anda di posisi saya? Cara apa yang bisa aku lakukan untuk merubah ini semua?
Kelas tiga Mesin Perkakas yang notabene siswanya terkenal susah diatur adalah kelas yang akan ku ajar hari itu. Tiap kali masuk kelas ini rasanya kepalaku mau pecah, bukan karena pertanyaan siswa yang lebih kritis terhadap materi, namun karena kenakalannya inilah yang membuatku ingin lari tidak masuk ke kelas itu saja. Disaat aku berjalan mengelilingi bangku mereka untuk mengecek apa yang sedang mereka kerjakan, tiba-tiba seorang siswa menirukan gayaku mengajar dan perlahan lahan mengikuti di belakang langkahku. Aku merasa ada yang mengikutiku dan aku diam saja seolah tidak tau meskipun dibelakangku mereka tertawa cekikikan. Kesabaranku habis sudah ketika seorang siswa yang bernama Dedi Nopiardi (yang tidak lain adalah siswa yang mengikuti berjalan dibelakangku) tertawa cekikikan dengan dua kaki diangkatnya (dilipat) diatas kursi, disaat aku menerangkan di depan kelas dan secara reflek tanganku melemparkan penghapus papan tulis dari kayu ke arahnya dan tepat mengenai keningnya. Aku terperanjat dan lebih kali mereka terbengong-bengong dan spontan kelas hening karena mereka tidak menyangka akan tindakan yang sudah aku lakukan.
Seketika hatiku bergetar dan keluar keringat dingin melihat Dedi yang hanya bisa menundukkan kepala dan menangis. Aku jadi takut tak karuan, pikiranku seketika kosong, dan secara spontan aku nasehati mereka bahwasannya aku juga manusia dan mempunyai batasan kesabaran, karena sikap mereka itulah aku menjadi seperti ini. Berulang kali rasa penyesalan itu muncul dalam hati dan berharap ini kejadian yang pertama dan terakhir.
Dari tatapan mereka padaku menunjukkan bahwa mereka mulai mengerti maksud perkataanku dan mereka menyadari kesalahan mereka dan kekhilafanku. Bel tanda jam pulang sekolah berbunyi dan dengan perintahku mereka meninggalkan kelas.
Dedi yang masih menangis ku minta tetap berada di kelas, dan aku berbicara panjang lebar dan menasehatinya akan kesalahannya dan aku minta maaf akan kekhilafanku. Tangisannya makin menjadi dan aku semakin dibuatnya takut, apakah karena kepalanya yang bertambah sakit pikirku. Apa yang harus aku lakukan? Tiba-tiba Dedi menjabat tanganku sembari meminta maaf sambil tetap tertunduk dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Perasaan beribu penyesalan memenuhi hatiku. Oh anak ku sayang, andai engkau tau bahwa yang aku lakukan ini untuk masa depanmu, karena rasa tanggung jawabku pada masa depanmu.
Kejadian ini merupakan pelajaran berharga untukku dan membuat perubahan besar dalam diri anak-anak. Logika dan perasaan mereka mulai berjalan dengan perubahan sikap yang mereka tunjukkan.
Kenakalan dan canda tawa mereka merupakan salah satu asesoris dalam pembelajaran, menjadi bencana jika dilakukan tidak semestinya dan menjadi sinar jika dilakukan semestinya. Untuk anak didikku tersayang, ingatlah bahwasannya ada batasan-batasan dan aturan-aturan yang harus kalian lakukan, sesuaikanlah dengan situasi dan kondisi. Kami hanya bisa membimbing dan mengarahkan kalian dengan maksud dan tujuan baik karena kami sayang akan masa depanmu. Buatlah yang terbaik untuk keluarga, negara dan agama karena aku untuk negeriku, bangsa dan agamaku.
3 Komentar
Memang kesabaran ada batasnya pada setiap insan yang namannya "Manusia". Tapi dari hal tersebut akan ada ilmu/manfaat yang kita ambil, bukan hanya dengan sikap lemah lebut saja untuk merubah sesuatu menjadi lebih baik, bahkan dengan spontanitas pun bisa merubah sikap seseorang.
Kira-kira kondisi kelas setelah itu gimana ya....?
Salam Kenal Juga Untuk Ibu Guru
Terimakasih atas komentarnya :)
karena itu walaupun kita mementingkan proses, tetap saja kita menginginkan hasil.
dan hasil dari mengajar sehingga anak didik paham, walaupun dengan cara yang keras, menurut saya tidak menjadi soal.